Pagi ini
kulakukan keputusanku tuk memeriksakan kesehatan mentalku. Setelah adanya
dorongan dari Teh ------- dan mengetahui bahwa pengobatan kesehatan mental yang
ditangani psikiater bisa menggunakan BPJS, semakin kubulatkan keputusanku
menuju puskesmas tempat faskes BPJS ku. Entah terlalu niat, aku berangkat
sebelum pukul 07.00 WIB dan mendapat nomor antrian 001.
Setelah
menunggu sekitar satu jam, akhirnya keluarlah hasil pemeriksaan dari dokter
yang memberikan diagnosa bahwa aku
positif bipolar
affective disorders. Aku tak begitu kaget, aku sudah menerima kenyataannya,
karena beberapa tahun kebelakang aku sudah menganalisis diriku sendiri dan
sempat beberapa kali melakukan tes online bipolar yang semuanya menghasilkan
positif bipolar. Hanya selalu ada rasa ragu dan takut untuk memeriksakan diri
ke psikiater. Ragu karena tingginya biaya konsultasi ke psiakter dan takut
orang-orang disekitarku tidak menerima kondisi mentalku, begitupun keluargaku.
Dari hasil
pemeriksaan aku dirujuk ke poli jiwa di RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya,
aku memilih rumah sakit itu karena lokasinya berdekatan dengan kampusku, agar
bimbingan dan penyelesaian tugas akhir perkuliahnku (skripsi) tidak terganggu.
Ketika itu aku langsung mengirim foto lembar rujukan tersebut pada Teh ------, ------, dan ------, memberitahu bahwa aku positif bipolar disorder, dirujuk ke
poli jiwa dan akan ke rumah sakit hari senin 29 April 2019, mereka bertiga
orang-orang yang tahu kalau hari itu aku akan periksa ke dokter kesehatan
mental di puskesmas. Keluarga? Aku belum memberi kabar hasil pemeriksaan ini. Aku
ragu.
Rasa ragu
itupun kurasakan saat ingin meminta sahabatku, untuk menemaniku hari senin
nanti, karena aku membutuhkan kehadirannya. Aku ragu meminta padanya, lebih
tepatnya takut menerima penolakan dari sahabatku. Aku coba beranikan diri mengirim
foto lembar rujukan pada sahabatku dan meminta ditemani olehnya. Dan perasaanku
benar, sahabatku tidak bisa menemani. Luka sedikit menggores hatiku. Tapi aku pendam.
Menjelang sore, aku mulai menyadari bahwa
pengobatanku ini akan cukup memakan waktu, dan akan sering bolak balik
konsultasi ke psikiater. Dari sana aku merasa perlu keluargaku tahu kondisiku.
Tapi aku ragu. Aku coba meminta pendapat Teh Rosmaya, setelah perbincangan aku
coba beranikan diri mengetik pesan pada kakak kandungku, ku ceritakan hasil
pemeriksaanku, kukirim foto lembar rujukan itu, kukirim pula beberapa screenshot berisi penjelasan mengenai Bipolar Disorders.
Menjelang
malam, kudapati balasan dari kakakku, balasan singkat yang cenderung
menunjukkan sikap mengacuhkan dan menyalahkanku. Dari sana aku tak merespon
lebih soal gangguan mentalku. Aku memilih diam, karena respon seperti
mengacuhkan ini yang membuatku ragu memberitahu keluargaku, lebih tepatnya
terluka. Hal ini membuatku tak lagi ragu untuk menyimpan saja semuanya, tanpa
memberi tahu proses pengobatan pada kakak maupun orang tuaku.
Untuk apa
memberi tahu bila ujungnya membuatku terluka?? Teringat jelas respon kakakku
yang cenderung menyalahkanku, seolah ini adalah dosa yang harus kutanggung
akibat kelakuan biadabku dulu 8 November 2011. Hari dimana aku meluapkan semua
kekesalanku yang selalu kupendam, amarah yang selalu kupendam, rasa tidak adil
yang selalu kupendam, rasa tidak dianggap dalam keluarga yang selalu kupendam,
rasa diacuhkan oleh keluarga yang selalu kupendam, hingga keluar kata-kata
kasar dari mulut biadabku dan dibalas dengan pukulan yang berhasil mengeluarkan
darah dari sudut bibirku. Dan dihari itu semua orang menyalahkanku. Tak ada
satupun yang mengerti kondisi kejiwaanku, yang mereka tahu aku telah berdosa
karena meluapkan emosi terpendam pada ibu.
Sejak hari
itu, kehidupanku berubah, rasaku berubah. Mudah depresi, terkadang mudah
membahagiakan diri. Mungkin ini cikal bakal gangguan bipolar mulai mengakar dalam jiwaku. Peristiwa ini tak hanya
sekali, sempat terulang lagi di pertengahan tahun 2015. Dengan kondisi yang
sama, aku tidak bisa meluapkan emosiku pada siapapun, semua orang
menyalahkanku. Hingga akhirnya aku tumpahkan kisahku itu dalam cerpen bertajuk
‘Dawai Untuk Mama’.
Ingin rasanya aku membalas
respon yang kuterima hari ini.
INI
BUKAN KEMAUANKU!!!!!!!!!
ANAK MANA
YANG MAU MILIKI EMOSI TEMPRAMEN????
ANAK MANA YANG MAU MILIKI RASA TERASINGKAN DALAM KELUARGA????
ANAK MANA YANG MAU MILIKI RASA TERASINGKAN DALAM KELUARGA????
ANAK MANA
YANG MAU MUDAH MARAH?????
ANAK MANA
YANG MAU MEMUKUL DAN MENENDANG BENDA DISEKITARNYA UNTUK LUAPKAN AMARAH????
ANAK MANA
YANG MAU MEMENDAM EMOSINYA SENDIRIAN????
ANAK MANA YANG MAU MILIKI GANGGUAN JIWA SEPERTI INI????
eL
Apriyani
26042019
23:02
WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar