Entri yang Diunggulkan

Maafkan Aku Berbeda

Berbeda dari teman-temanmu Dari teman-temanmu yang normal Yang normal menjalani pertemanan denganmu Pertemananmu denganku yang berbeda M...

Jumat, 26 April 2019

KERAGUAN BERUJUNG LUKA


Pagi ini kulakukan keputusanku tuk memeriksakan kesehatan mentalku. Setelah adanya dorongan dari Teh ------- dan mengetahui bahwa pengobatan kesehatan mental yang ditangani psikiater bisa menggunakan BPJS, semakin kubulatkan keputusanku menuju puskesmas tempat faskes BPJS ku. Entah terlalu niat, aku berangkat sebelum pukul 07.00 WIB dan mendapat nomor antrian 001.
Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya keluarlah hasil pemeriksaan dari dokter yang memberikan diagnosa bahwa aku
positif bipolar affective disorders. Aku tak begitu kaget, aku sudah menerima kenyataannya, karena beberapa tahun kebelakang aku sudah menganalisis diriku sendiri dan sempat beberapa kali melakukan tes online bipolar yang semuanya menghasilkan positif bipolar. Hanya selalu ada rasa ragu dan takut untuk memeriksakan diri ke psikiater. Ragu karena tingginya biaya konsultasi ke psiakter dan takut orang-orang disekitarku tidak menerima kondisi mentalku, begitupun keluargaku.
Dari hasil pemeriksaan aku dirujuk ke poli jiwa di RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya, aku memilih rumah sakit itu karena lokasinya berdekatan dengan kampusku, agar bimbingan dan penyelesaian tugas akhir perkuliahnku (skripsi) tidak terganggu. Ketika itu aku langsung mengirim foto lembar rujukan tersebut pada Teh ------, ------, dan ------, memberitahu bahwa aku positif bipolar disorder, dirujuk ke poli jiwa dan akan ke rumah sakit hari senin 29 April 2019, mereka bertiga orang-orang yang tahu kalau hari itu aku akan periksa ke dokter kesehatan mental di puskesmas. Keluarga? Aku belum memberi kabar hasil pemeriksaan ini. Aku ragu.
Rasa ragu itupun kurasakan saat ingin meminta sahabatku, untuk menemaniku hari senin nanti, karena aku membutuhkan kehadirannya. Aku ragu meminta padanya, lebih tepatnya takut menerima penolakan dari sahabatku. Aku coba beranikan diri mengirim foto lembar rujukan pada sahabatku dan meminta ditemani olehnya. Dan perasaanku benar, sahabatku tidak bisa menemani. Luka sedikit menggores hatiku. Tapi aku pendam.
 Menjelang sore, aku mulai menyadari bahwa pengobatanku ini akan cukup memakan waktu, dan akan sering bolak balik konsultasi ke psikiater. Dari sana aku merasa perlu keluargaku tahu kondisiku. Tapi aku ragu. Aku coba meminta pendapat Teh Rosmaya, setelah perbincangan aku coba beranikan diri mengetik pesan pada kakak kandungku, ku ceritakan hasil pemeriksaanku, kukirim foto lembar rujukan itu, kukirim pula beberapa screenshot berisi penjelasan mengenai Bipolar Disorders.
Menjelang malam, kudapati balasan dari kakakku, balasan singkat yang cenderung menunjukkan sikap mengacuhkan dan menyalahkanku. Dari sana aku tak merespon lebih soal gangguan mentalku. Aku memilih diam, karena respon seperti mengacuhkan ini yang membuatku ragu memberitahu keluargaku, lebih tepatnya terluka. Hal ini membuatku tak lagi ragu untuk menyimpan saja semuanya, tanpa memberi tahu proses pengobatan pada kakak maupun orang tuaku.
Untuk apa memberi tahu bila ujungnya membuatku terluka?? Teringat jelas respon kakakku yang cenderung menyalahkanku, seolah ini adalah dosa yang harus kutanggung akibat kelakuan biadabku dulu 8 November 2011. Hari dimana aku meluapkan semua kekesalanku yang selalu kupendam, amarah yang selalu kupendam, rasa tidak adil yang selalu kupendam, rasa tidak dianggap dalam keluarga yang selalu kupendam, rasa diacuhkan oleh keluarga yang selalu kupendam, hingga keluar kata-kata kasar dari mulut biadabku dan dibalas dengan pukulan yang berhasil mengeluarkan darah dari sudut bibirku. Dan dihari itu semua orang menyalahkanku. Tak ada satupun yang mengerti kondisi kejiwaanku, yang mereka tahu aku telah berdosa karena meluapkan emosi terpendam pada ibu.
Sejak hari itu, kehidupanku berubah, rasaku berubah. Mudah depresi, terkadang mudah membahagiakan diri. Mungkin ini cikal bakal gangguan bipolar mulai mengakar dalam jiwaku. Peristiwa ini tak hanya sekali, sempat terulang lagi di pertengahan tahun 2015. Dengan kondisi yang sama, aku tidak bisa meluapkan emosiku pada siapapun, semua orang menyalahkanku. Hingga akhirnya aku tumpahkan kisahku itu dalam cerpen bertajuk ‘Dawai Untuk Mama’.

Ingin rasanya aku membalas respon yang kuterima hari ini.

INI BUKAN KEMAUANKU!!!!!!!!!
ANAK MANA YANG MAU MILIKI EMOSI TEMPRAMEN????
ANAK MANA YANG MAU MILIKI RASA TERASINGKAN DALAM KELUARGA????
ANAK MANA YANG MAU MUDAH MARAH?????
ANAK MANA YANG MAU MEMUKUL DAN MENENDANG BENDA DISEKITARNYA UNTUK LUAPKAN AMARAH????
ANAK MANA YANG MAU MEMENDAM EMOSINYA SENDIRIAN????
ANAK MANA YANG MAU MILIKI GANGGUAN JIWA SEPERTI INI????

eL Apriyani
26042019
23:02 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar